Penanganan kanker pada anak tidak melulu soal pengobatan kuratif seperti kemoterapi, radioterapi, dan operasi. Tapi juga penting memperhatikan kesehatan jiwa anak kanker.
Cerita penyintas kanker anak melawan tekanan jiwa
Sudah sepuluh tahun berlalu sejak Rama dinyatakan lolos dari keganasan leukemia. Tapi pengalaman traumatis itu masih melekat. Ia bercerita bagaimana yang dihadapi bukan hanya penyakit, tapi juga tekanan mental dari lingkungan keluarganya.
Rama baru saja merasakan senangnya belajar mengendarai sepeda. Usianya baru 3,5 tahun saat ia mengalami pendarahan lewat hidung dan telinga tanpa sebab. Orangtuanya membawa Rama ke salah satu rumah sakit di Jakarta Selatan namun penanganan dan diagnosis penyakit tak kunjung ia terima. Dua minggu dirawat, kondisi Rama justru memburuk. Wajahnya semakin pucat dan perutnya membesar.
Atas saran dari kawan dan keluarga, Rama dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Rama langsung ditangani oleh ahli kanker anak RSCM. Kantung empedunya pecah (yang menyebabkan perutnya membuncit), jumlah hemoglobin dalam tubuhnya hanya dua, dan ia didiagnosis kanker darah atau Leukemia tipe limfositik akut (ALL).
Rentetan informasi yang sulit sekali diterima oleh orangtua mana pun. Terlebih Rama adalah anak tunggal di keluarga itu.
“Keluargaku saat itu merasa sudah mustahil bagi aku untuk sembuh,” tutur Rama Wijaya bercerita pada Hello Sehat di Graha Yayasan Onkologi Anak Indonesia, Jakarta Barat, Senin (3/2).
Rama menjalani sederet pengobatan kanker seperti kemoterapi, tes sumsum tulang atau bone marrow puncture (BMP), rutin minum obat, belum lagi saat akan menjalani kemoterapi ia harus disembuhkan dulu dari segala macam penyakit lainnya, misal flu, anemia, dan lainnya.
Rama dirawat inap di RSCM selama lebih kurang tiga bulan. Lalu dilanjutkan dengan rawat jalan selama 2,5 tahun, dan masa pelayanan maintenance selama tujuh tahun.
“Saat itu aku merasa menjadi anak 4 tahun paling sibuk, lelah,” kata Rama ia bercerita sambil terus tersenyum walau terkadang gurat sedih saat mengingat masa-masa itu masih terlihat.
Segala rincian pengobatan yang ia jalani, tentu saja merenggut Rama dari dunia anak-anak pada umumnya. Membuatnya merasa menjadi anak yang berbeda. Emosinya terkuras, padahal sebagai pasien kanker anak, jiwa Rama juga harus dalam keadaan stabil.
“Aku bolak-balik ke rumah sakit. Padahal aku juga mau seperti anak-anak lain bisa bebas main, sekolah, bisa jajan apa saja,” lanjutnya.
Keinginan besar itu membuat Rama dan orangtuanya jadi sering bertengkar. Bahkan setelah masa pengobatan selesai, keadaan tak berubah. Padahal pertengkaran tersebut berpengaruh pada kesehatan jiwa saat pengobatan kanker anak.
“Bukan pengalaman pengobatannya saja, tapi bagaimana aku tidak menjalani masa kecilku sebagaimana anak-anak lainnya,” kata Rama mulai bercerita.
Pengobatan kanker yang melelahkan jiwa
Saat selesai menjalani masa pengobatan kuratif selama lebih kurang tiga tahun, Rama masih harus menjalani pelayanan maintenance selama lima tahun, hal ini wajib bagi pasien kanker anak agar kondisinya menekan sel kanker sampai hilang. Dalam masa-masa tersebut orangtuanya masih memiliki ketakutan yang besar yang membuat tekanan pada kondisi kejiwaannya.
Rama dilarang berkegiatan ini dan itu, hampir semua kegiatannya hanya di rumah. Orangtua yang protektif berlebihan membuat hubungan Rama dan orangtua tidak pernah akur.
“Masa-masa itu terasa seperti neraka untuk aku. Yang aku rasain itu, yang mematikan itu bukan penyakitnya tapi (perlakuan) dari orang-orang sekitar. Dikekang oleh orangtua, dimarahi, bertengkar, sekalinya bisa main keluar dijadikan anak bawang,” kata Rama.
Baru saat Rama beranjak dewasa ia paham perlakuan keras orangtuanya itu adalah ungkapan perasaan takut kehilangan yang ditunjukkan secara keliru. Saat ini hubungan mereka semakin membaik dan semua mengambil pelajaran penting dari proses tersebut.
“Aku minta maaf, mama juga minta maaf katanya ‘Mama sadar mungkin perlakuan mama ke kamu bikin kamu benci mama’. Dia bilang tuntutannya menjaga aku itu seperti menjaga berlian yang nggak boleh gores, padahal ada hati aku yang gores,” kata Rama.
Tekanan dan kesehatan jiwa pada orangtua dan pasien kanker anak
Tekanan pada pasien dan orangtua pasien anak pengidap kanker memang bukan hal sepele. Data Kementerian Kesehatan tahun 2015 menyebutkan, sebanyak 59% dari anak-anak dengan kanker memiliki masalah kesehatan mental, di mana 15% didiagnosis kecemasan, 10% mengalami depresi, dan 15% mengalami post traumatic stress disorder (PTSD).
Jurnal psikologi Universitas Negeri Malang berjudul Kualitas Hidup Penderita Kanker menyebutkan bahwa penyakit kanker memberikan perubahan signifikan secara fisik maupun psikis individu, antara lain, kesedihan, kekhawatiran, dan ketakutan akan masa depan dan kematian.
Raden Kusumarojo, psikolog RSCM sekaligus relawan di YOAI menjelaskan gangguan psikologi pada anak dengan kanker itu memang sangat rentan terjadi. Kanker pada anak menimbulkan stres bagi pasien dan seluruh keluarganya. Saat satu keluarga memiliki anak kanker maka kesehatan jiwa anggota keluarga lainnya juga bisa terpengaruh.
“Anak dengan kanker biasanya dia dicabut dari teman-temannya, nggak bisa sekolah, beberapa ada yang rambutnya rontok, kulitnya menghitam dan itu kan bikin mereka minder dengan body image,” Jelas Raden kepada Hello Sehat, Rabu (5/2).
“Obat kemoterapi yang masuk ke dalam tubuh, menjalani operasi yang sakit banget membuat mereka jadi gampang marah, temperamental, dan sensitif,” tambah Raden.
Raden menjelaskan, rasa sakit akibat tindakan medis yang berulang, perubahan bentuk tubuh, dan keterbatasan dalam bersosialisasi dengan teman sebaya rentan berpengaruh terhadap kepercayaan diri anak kanker.
Sehingga saat dinyatakan bebas dari kanker, anak cenderung menarik diri, kurang dapat bersosialisasi, merasa rendah diri, kecenderungan takut kehidupan masa depan.
“Hal ini jika tidak ditangani dengan baik, kehidupan mereka akan mengalami hambatan yang serius menjalankan kehidupan di masa depan,” tekan Raden.
Raden menjelaskan, orangtua menjadi support system utama bagi anak dengan kanker, tapi orangtua juga mengalami syok dan tekanan psikologis yang tidak ringan. Stres dimulai pada saat diagnosis, ketika keluarga dihadapkan pada beban luar biasa untuk memahami penyakit dan istilah medis, dan menghadapi kemungkinan kematian anak di usia muda.
Kehidupan keluarga terganggu ketika keluarga berusaha membuat kesehariannya saat ini menjadi kondisi yang normal. Seperti kunjungan rumah sakit, tagihan biaya rumah sakit yang di luar kemampuan, dan masa depan kesembuhan yang tidak pasti.
Orangtua harus berjuang untuk mengatasi masalah psikologis atau kesehatan jiwa yang dialaminya, harus melakukan perjuangan untuk kesembuhan anak kanker, dan tetap melakukan peran dan fungsinya untuk keluarga.
“Ada perasaan sedih, tidak percaya, dan merasa bersalah pada anaknya. Mereka berjuang keras mengatasi stres yang dialami dengan berusaha menerima. Namun penerimaan dan cara penyampaian kasih sayang pada anak itu yang biasanya menjadi masalah, karena disampaikan dengan cara membentak, mengancam dan sebagainya,” kata Raden.
Pada kasus Rama, menurut Raden, komunikasi yang tidak tersampaikan dengan terang antara orangtua dan anak menjadi kelumit masalah.
“Biasanya kalau sudah ditangani mereka rata-rata hanya butuh memperbaiki komunikasi keluarganya, diingatkan kembali fungsi keluarga, edukasi tentang penyakitnya dengan bahasa yang mudah dipahami,” tutur Raden.
Solusi untuk orangtua
Menurut Raden, salah satu cara tepat membebaskan beban psikologis pasien dan orang tua adalah dengan bergabung dengan komunitas dan para survivor kanker. Dengan komunitas mereka bisa mencurahkan pengalaman satu sama lain. Hal ini dapat menjaga kesehatan jiwa baik orang tua atau anak dengan kanker.
“Penerimaan bisa datang sebetulnya lebih mudah kalau dari sharing pengalaman orang yang senasib sepenanggungan,” kata Raden.
Rama dinyatakan survive dari leukimia pada tahun 2011, setelah menjalani pengobatan selama total tujuh tahun. Saat ini Rama berusia 19 tahun, ia menjadi relawan di Yayasan Onkologi Anak Indonesia (YOAI). Rama sering berbagi cerita pada anak-anak pasien kanker untuk saling menguatkan.
Karena bagi survivor kanker seperti Rama, saling menguatkan satu sama lain adalah salah satu kunci keberhasilan pengobatan.
The post Pentingnya Menjaga Kesehatan Jiwa Anak-anak Penderita Kanker appeared first on Hello Sehat.
from Hello Sehat
0 Comments:
Posting Komentar