Pencarian obat untuk wabah COVID-19 yang kini merebak belum juga menemukan titik terang. Pasalnya, virus yang menjadi penyebabnya adalah coronavirus jenis baru yang belum sepenuhnya dikenali. Para peneliti di berbagai negara masih perlu mempelajari karakteristik virus ini sebelum bisa menemukan obat yang tepat.
Para peneliti sebelumnya telah mencoba mengobati pasien COVID-19 lewat beberapa cara, mulai dari mengatasi gejala dengan perawatan intensif hingga memberikan obat HIV untuk mencegah aktivitas virus. Seiring waktu, mereka kini menemukan dua metode yang mungkin bisa menjadi obat bagi wabah ini.
Obat masa depan bagi wabah COVID-19
Hingga Kamis (20/2), jumlah total kasus COVID-19 telah menyentuh angka 75.727 jiwa. Dari jumlah tersebut, sebanyak 45.103 pasien mengalami gejala ringan, 12.063 pasien berada dalam kondisi kritis, dan 2.128 orang dilaporkan telah meninggal dunia. Angka kasus ini diperkirakan akan terus meningkat setiap hari.
Infeksi virus bisa menjadi penyakit yang sangat sulit ditangani, tapi bukan berarti tidak dapat disembuhkan. Seperti virus lainnya, virus penyebab COVID-19 pun memiliki kelemahan dan inilah yang sedang dicari oleh para ilmuwan di berbagai belahan dunia.
COVID-19 disebabkan oleh coronavirus jenis baru dengan nama resmi SARS-CoV-2. Virus ini dapat memicu gangguan pernapasan ringan hingga berat, serta menyebabkan kematian pada kelompok rentan atau pasien yang sudah memiliki penyakit sebelumnya.
Hingga kini, belum ditemukan vaksin ataupun obat untuk COVID-19. Akan tetapi, para ilmuwan percaya bahwa ada dua cara yang dapat dilakukan untuk mengalahkan infeksi virus, yakni:
1. Konsumsi obat antivirus
Obat antivirus bekerja dengan dua cara. Beberapa obat antivirus dapat menghentikan kerja enzim penting yang diperlukan oleh virus untuk berkembang biak dan menginfeksi sel. Selain itu, ada pula obat yang bekerja dengan membunuh virus secara langsung.
Para peneliti sebelumnya mencoba mengobati COVID-19 dengan obat HIV yang disebut Aluvia. Aluvia adalah kombinasi dari dua obat HIV, yakni lopinavir dan ritonavir. Konsumsi obat secara rutin, ditambah menghirup alfa-interferon dua kali sehari, terbukti efektif untuk mengurangi gejala.
Peneliti di Tiongkok kini mempelajari obat eksperimen yang disebut remdesivir. Obat ini bekerja dengan mencegah virus memperbanyak diri dan sebelumnya telah diuji untuk menangani ebola serta Middle East Respiratory Syndrome (MERS).
Menurut sebuah penelitian dalam Proceedings of the National Academy of Science of USA, remdesivir terbukti mengurangi gejala masalah pernapasan pada monyet rhesus yang sebelumnya telah terpapar coronavirus penyebab MERS.
Sementara itu, studi lain dalam The New England Journal of Medicine menyebutkan bahwa seorang warga negara AS berhasil pulih dari infeksi COVID-19 setelah diberikan remdesivir. Potensi remdesivir sebagai obat COVID-19 memang masih perlu dikaji lebih lanjut, tapi ini merupakan temuan yang amat menjanjikan.
2. Antibodi monoklonal
Antibodi monoklonal adalah protein khusus yang dibuat dari sel-sel kekebalan tubuh untuk mengatasi penyakit tertentu. Terapi ini bertujuan agar sistem kekebalan tubuh pasien dapat melawan bibit penyakit sendiri.
Sejumlah perusahaan bioteknologi telah mencoba eksperimen untuk membuat antibodi monoklonal menggunakan tikus. Mereka memaparkan tikus kepada virus yang mirip dengan coronavirus penyebab COVID-19.
Hasilnya, tikus-tikus yang terpapar virus membentuk respons kekebalan tubuh untuk melawan virus tersebut. Respons kekebalan tubuh yang terbentuk bahkan jauh lebih menyerupai respons kekebalan tubuh manusia dibandingkan tikus.
Para peneliti masih membutuhkan waktu beberapa minggu sebelum dapat memanen antibodi dari tikus dan mengujinya. Walau demikian, antibodi monoklonal mungkin bisa menjadi obat yang efektif untuk COVID-19 karena tubuh pasien dapat melawan sendiri infeksi virus.
Obat lain yang pernah digunakan untuk mengatasi COVID-19
Aluvia dan antibodi monoklonal bukanlah metode pertama yang diuji dalam rangka menemukan obat COVID-19. Peneliti di Tiongkok sebelumnya telah mengadakan eksperimen dengan obat malaria yang disebut chloroquine.
Sementara itu, ada pula penelitian lain yang menguji serum darah dari 300 pasien yang pulih. Eksperimen ini didasarkan pada teori bahwa seseorang yang pulih dari suatu infeksi memiliki antibodi yang dapat menghentikan infeksi pada pasien baru.
Di belahan wilayah Tiongkok lainnya, ada pula penelitian dengan melibatkan sel punca. Tim peneliti dari First Affiliated Hospital of Zhejiang University menyuntikkan sel punca kepada 28 orang dan membandingkannya dengan orang-orang yang tidak memperoleh suntikan.
Hingga kini, sudah terdapat lebih dari 80 uji coba yang dilakukan di seluruh dunia. Obat dan vaksin COVID-19 mungkin tidak dapat diperoleh dalam waktu cepat, tapi maraknya uji coba akan memperbesar peluang ditemukannya obat maupun vaksin.
Langkah terbaik yang dapat dilakukan saat ini adalah melakukan upaya pencegahan seperti mencuci tangan dengan benar, menggunakan masker, serta menjaga kebersihan diri. Setiap orang juga perlu membatasi kontak dekat dengan orang yang sakit untuk mencegah penularan.
The post Ilmuwan Usulkan Dua Metode yang Bisa Menjadi Obat COVID-19 appeared first on Hello Sehat.
from Hello Sehat
0 Comments:
Posting Komentar